TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia mencatat kebebasan sipil di Indonesia selama kurun waktu 2019-2022 terus tergerus dengan temuan 328 kasus serangan fisik dan serangan digital.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan negara terus-menerus menekan suara kritis dan juga membiarkan tekanan tersebut dilakukan oleh aktor nonnegara yang rata-rata berakhir dengan impunitas.
“Walaupun pejabat pemerintah, termasuk Presiden Joko Widodo, berulang kali menyatakan komitmennya untuk menghormati dan melindungi kebebasan sipil, namun data dan faktanya justru berkata lain. Kebebasan tergerus dari atas dan dari bawah. Ini harus diperbaiki pemerintah Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, 7 Oktober 2022.
Laporan Amnesty berjudul “Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia” menemukan fakta merebaknya serangan terhadap kebebasan sipil, yang setidaknya meliputi 328 kasus serangan fisik dan serangan digital dengan 834 korban.
Menurut Amnesty International Indonesia, serangan dari atas berasal dari aktor-aktor negara yang didominasi oleh aparat. Sedangkan serangan dari bawah berasal dari para individu dan kelompok non-negara, yang kerapkali turut menyerang orang lain yang kritis terhadap negara.
Selama tiga tahun terakhir, serangan dari kedua arah tersebut menggerus ruang publik dan berakibat hilangnya hak-hak asasi para aktivis, jurnalis, mahasiswa, akademisi, dan demonstran. Laporan ini disusun berdasarkan 52 wawancara dengan para aktivis, mahasiswa, advokat, jurnalis, pegawai pemerintah, termasuk bersumber dari berkas resmi perkara.
Kasus terbaru terjadi pada jurnalis Narasi
Laporan itu mendokumentasikan tergerusnya ruang publik untuk kritik dan protes dalam tiga tahun terakhir akibat gelombang serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul secara damai, berserikat, keamanan pribadi, dan kebebasan dari penahanan sewenang-wenang.
“Peretasan terhadap puluhan jurnalis Narasi akhir September membuktikan masalah ini masih terus berlanjut,” kata Usman.
Dari 23 sampai 30 September 2022, setidaknya 37 anggota tim redaksi Narasi TV menjadi korban peretasan atau percobaan peretasan. Situs Narasi pun mendapatkan serangan DDoS yang menyertakan ancaman pembunuhan berpesan “Diam atau mati.” Sampai saat ini ditulis, penyelidikan terhadap peretasan ini masih berlangsung.
Sejak 2020 hingga Juni 2022, berbagai survei memperkuat indikasi tergerusnya kebebasan sipi. Survei Indikator Politik Indonesia, misalnya, menemukan 60,7 persen responden setuju saat ini orang-orang lebih takut untuk menyuarakan pendapat mereka, 57,1 persen merasa lebih sulit untuk menggelar demonstrasi, dan 50,6 persen berpikir semakin banyak orang yang ditangkap secara sewenang-wenang oleh pemerintah karena perbedaan pendapat dengan penguasa.
“Sebagian besar pelaku serangan dan ancaman ini tidak mendapat hukuman dari negara. Akibatnya menciptakan iklim ketakutan,” kata Usman.
Penyalahgunaan UU ITE
Salah satu sebab maraknya serangan kebebasan sipil adalah penyalahgunaan sejumlah pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), yang pertama berlaku pada 2008 dan diamandemen pada 2016. Usman menilai sejumlah pasal dalam UU ITE sangat ambigu sehingga sering digunakan sebagai dasar pelaporan polisi, bahkan penangkapan dan penahanan dengan tuduhan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
UU ITE telah digunakan untuk mengadili, dan dalam banyak kasus, menghukum beragam orang seperti jurnalis yang melaporkan kasus korupsi, akademisi yang mengkritik kebijakan universitas, dan konsumen yang membuat ulasan kritis.
Antara Januari 2019 hingga Mei 2022, Amnesty mencatat setidaknya 316 kasus penyalahgunaan UU ITE yang melanggar hak kebebasan berekspresi dengan total setidaknya 332 korban. Bahkan, ketika tidak ada yang dijadikan tersangka sekalipun, ancaman pidana telah digunakan untuk mengintimidasi pengkritik pemerintah. Ini dialami oleh seorang warga Slawi, Jawa Tengah, Maret 2021. Ia ditangkap karena unggahan komentarnya yang mempertanyakan pengetahuan Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, mengenai sepak bola. Ia dianggap menyiratkan putra sulung Presiden Joko Widodo itu meraih jabatan melalui nepotisme. Kepolisian membebaskannya hanya setelah ia menghapus komentarnya dan meminta maaf secara publik.
Pada Februari 2021, setelah adanya serangkaian kritik publik terhadap UU ITE, termasuk oleh mantan pejabat pemerintah, Presiden Joko Widodo menyatakan kesediaannya untuk merevisi pasal-pasal bermasalah yang terkandung dalam UU tersebut. Pemerintah lalu mengajukan draf revisi UU secara terbatas pada Desember 2021 ke DPR, tetapi sejak itu belum ada pembahasan secara publik.
Pada Mei 2022, pemerintah melanjutkan pembahasan draf revisi RKUHP yang sebelumnya ditangguhkan karena protes publik yang meluas pada 2019. Pasal bermasalah RKUHP, seperti pasal penghinaan presiden dan wakil presiden serta pasal yang memidana demonstrasi tanpa izin, akan membatasi kebebasan sipil. Terlepas dari kritikan publik atas pasal bermasalah ini dan kurang terbukanya partisipasi publik dalam proses pembahasannya, Pemerintah dan DPR tetap berencana untuk mengesahkan RKUHP draf baru sebelum akhir tahun ini.
“Alih-alih merevisi UU yang telah banyak disalahgunakan untuk membatasi hak, termasuk kebebasan berekspresi, sikap pemerintah dan DPR justru berpotensi melanggengkan pasal otoriter semacam ini,” kata Usman.